Trip to Kaligua


.

Karena aku merasa perlu banget mulai hidup mandiri dan skill termaju yang aku punya selain bisa tidur di segala tempat adalah menulis, so here I am. Mari belajar menulis apa saja, res!

TRIP TO KALIGUA

            Sebagai maba a.k.a mahasiswa babi baru, ini adalah pertama kalinya aku menyentuh periode liburan. Ternyata liburan seorang mahasiswa 3 kali lipat liburan siswa biasa hehehe. Hebat ya, dengan tambahan kata ‘maha’ di depan status kita yang dahulu—dari siswa jadi mahasiswa—benefit yang didapatkan 300 persen lebih banyak. Tidak sepenuhnya terlaksana 6 minggu sebenarnya karena keberadaan simultan (Try Out untuk anak SMA yang diselenggarakan organisasi mahasiswa daerah).
            Paruh awal liburan aku habiskan untuk persiapan simultan. Nah disini bukan hendak mebicarakan berapa lama jumlah hari liburku atau seperti apa pelaksanaan simultan, tapi hari-hariku setelah simultan. Didefinisikan dalam kosakata sebagai berikut : tidur—makan—mandi—baca buku—mandi—makan—nonton film—tidur—repeat. Dalam bahasa slang teman-teman kampusku biasa disebut : ongkang-ongkang. Sampai di suatu hari aku memutuskan tidur lebih cepat dan mengakibatkan aku bangun di tengah malam lantas menemukan notifikasi bahwa beberapa temanku merencanakan perjalanan ke kaligua. Besoknya. Oke, aku sebagai homo gabutensis tidak akan mengatakan pernyataan selain : “IKUT DONG!”
            Perjalanan dimulai pukul 9.15 dari rumahku—lahan tanggung di perbatasan Cilongok-Karanglewas (fyi, terkadang aku mengaku rumahku berlokasi di Karanglewas biar orang-orang nggak berubah simpati dan iba karena Cilongok terlihat jauh dari peradaban Purwokerto pusat). Kalau dari Purwokerto, tidak ada pilihan rute perjalanan lain selain lewat Ajibarang. Jalan yang dilalui enak untuk ukuran  wisata di atas awan. Sedikit ada ganguan karena kemarin sempat ada pengaspalan jalan raya di daerah Pekuncen—kira-kira tepat setelah melalui lampu merah pertigaan Taman Kota Ajibarang. Sampai di kecamatan Paguyangan, belok ke arah Desa Pandansari. Yep, pertualangan dimulai.
            Jalan menanjak, berkelok, beberapa berlubang dan bergenangan air—namun tetap seperti yang kusebut sebelumnya, aku kategorikan enak untuk ukuran wisata di atas awan. Di beberapa sudut tikungan juga dipasang cermin cembung. Karena aku pergi pada hari Selasa di periode yang bukan liburan umum warga Indonesia raya, jadi suasana cenderung sepi. Kami berhasil sampai di gerbang wisata Kaligua setelah berkendara kurang lebih satu setengah jam.
            Terkejut kami terheran-heran sebab abang belum pernah kesana melihat nominal yang tertera di loket masuk adalah 17000 rupiah! Hmm apa yang terjadi padahal 7 bulan sebelumnya harga karcis masih 8000 perak saja! Tapi nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin dong kami harus kembali ke Purwokerto h3h3h3h3 eman-eman bensine mad.  Ternyata eh ternyata, 17000 dikembalikan dalam bentuk : tiket masuk + tiket masuk waduk Tuk Bening + teh hitam sachet produk warga setempat. Ashiaappp.
            Kalau sudah masuk ke area wisata, harus pintar-pintar pilih spot foto. Ada banyak titik-titik menarik jadi harus bentar-bentar berhenti dan memarkir motor.


Titik di atas bisa ditemukan sebelum sampai di gerbang wisata Tuk Bening. Dekat pertigaan yang ada plang nya deh pokoknya heuheu.




            Selain menjual pemandangan kebun teh ajib dibumbui udara sejuk, wisata Kaligua juga menjamu pengunjung dengan keberadaan Goa Jepang, bebek air, flying fox, wisma dan penginapan, area camping, gazebo, musola, toilet umum, parkir luas, dan wahana outbond.
            Dari itu semua, hal yang benar-benar aku apresiasi dari Kaligua adalah : harga mendoannya gak ikutan mahal! Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa harga makanan di lokasi wisata biasanya lebih merogoh kocek. Tapi di sini mendoan tetap seribuan dong :( sebagai kaum proletar aku sangat terhura.
            Sepertinya itu saja si. Karena aku lagi suka bikin moodboard ala-ala jadi kucantumkan juga moodboard trip Kaligua hehe. 


Cool Kids (part2)


.



COOL KIDS   (part2)


COOL KIDS    (part 2)

And she says
I wish that I could be like the cool kids
Cause all the cool kids they seems to fit in
I wish that I could be like the cool kids
Like the cool kids

-Cool Kids by Echosmith ♪♪♪


            Aku harap aku bisa menjadi anak gaul. Bukan. Aku harus menjadi anak gaul.
            Aku harap aku bisa menjadi anak famous. Bukan. Aku harus menjadi anak famous.

            Dua frasa tadi terus menerus membayangi pikiranku seperti hantu berjiwa bayi ; merengek hingga apapun yang diminta terwujud. Kata ‘harap’ dan ‘harus’ paling memusingkan. Aku tidak tahu mana yang sebenarnya pantas. ‘Harap’ berarti hanya sebatas impian yang terkabul suatu saat nanti dan kata ‘harap’ di fikiranku memiliki bagian lain yang berdalih bahwa bukan masalah besar jika mimpi itu tidak tercapai. Sedangkan ‘harus’ memiliki semacam dorongan dan paksaan agar dilakukan sesegera mungkin dengan kerja keras, penyesalan besar jika tidak membuahkan hasil memuaskan.
            Tapi ‘harap’ juga memerlukan kerja keras agar mimpi itu tercapai, kan? Perbedaannya hanya pada waktu dan tingkat penyesalan jika tidak terwujud.
            Jadi?
            Arrrggghhh, semua ini membuat kepalaku pening. Sepanjang perjalanan pulang tadi, berkali-kali pengguna jalan lain memenuhi telingaku dengan klakson-klakson volume maksimal. Aku tidak ingat apa yang kulakukan di jalan raya karena—yah, konsentrasiku terkuras oleh anak-anak famous. Syukurnya, aku bisa sampai rumah dengan selamat.
            Aku pikir aku akan merasa bangga jika menjadi anak famous. Punya banyak teman dari berbagai sekolah yang tak kalah hits. Hangout ke berbagai tempat. Jogging bersama tiap Minggu, jelajah wisata alam di seluruh penjuru kota, shopping, wisata kuliner, pergi ke konser, dan yang paling penting di tiap kegiatan itu adalah : selfie. Abadikan segala momen dan unggah di dunia maya. Tunjukkan pada dunia bahwa ini aku, ini teman-temanku, kami gila-gilaan bersama, kami suka berkelana, kami aktif di dunia maya.
            Selama ini aku memendam iri tiap melihat foto-foto anak famous. Ingin mengunjungi tempat yang mereka kunjungi plus bersama orang-orang yang fun pula. Nah, jika seseorang iri kepadamu, artinya kau punya sesuatu istimewa yang tidak semua orang punya, kan?
Bukankah menjadi perhatian banyak orang itu menyenangkan?

Aku menarik nafas dalam-dalam sambil mengeja niatan-niatan yang mekar di otak. Seperti air yang berakhir di kulkas, tekadku kian mengeras. Aku harus menjadi anak gaul, aku harus menjadi anak famous.
           
            Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang? Berdasarkan pengamatanku sejauh ini, ada beberapa tahap untuk menjadi famous. Pertama, aktif di media sosial. Ikuti akun anak-anak famous, meminta mereka untuk balik mengikuti atau bahasa kerennya : followback. Sering-sering update status, memberi komentar pada status orang lain, membagikan status orang lain jika merasa status itu bagus. Bersikap ramah, mengetik dengan bahasa gaul, menggunakan bermacam-macam emoji, jangan takut untuk berkenalan dengan orang lain. Jangan lupa unggah bermacam-macam selfie. Targetnya adalah namaku selalu muncul di beranda akun media sosial orang lain (target utamaku anak-anak gaul di kota tentunya). Garis bawah untuk selalu, it’s mean everytime.
            Tahap kedua. Setelah namaku mulai sering muncul di media sosial, maka akan banyak yang penasaran denganku. Berkenalan, berteman, curhat-curhatan. Proses menjadi teman dekat.
            Tahap ketiga. Berdasarkan pengamatanku, setelah tahap curhat-curhatan itu biasanya anak-anak famous mulai hangout bersama. Makin sering hangout, makin banyak foto yang diunggah, makin terlihat gaul-lah mereka. Nah di tahap ini mulailah seseorang dianggap famous. Jangan lupa juga mengupgrade style fashion karena akan terlihat tidak serasi memakai pakaian kaku di tengah anak-anak gaul yang fashionable.
            Itu teori pribadi. Oke, aku menghela nafas lagi. Let’s start it.
            “Vita!”
            Aku mendongakkan kepala. Kak Vela berdiri berkacak pinggang di depanku. “Tahu apa yang akan Kakak tanyakan?”
            Aku memutar bola mata. “Tanya apa yang sedang aku lakukan? Oke, sekarang aku sedang bernafas sambil duduk di sofa,”
            Kak Vela geleng-geleng kepala.
            “Kak, aku mau jadi anak famous.” kata-kata itu meluncur begitu saja. Suaraku datar dan tegas, semacam pencegahan sebelum Kak Vela mulai mensenandungkan beragam makian.
            Kak Vela menaikkan sebelah alis. “Kerasukan? Kenapa?”
            Secuil diriku merasa firasat baik untuk menceritakan tekadku padanya. Siapa tahu dia punya saran bagus. Lantas kubeberkan padanya segala hal di benak. Termasuk tahap-tahap yang akan kulakukan. Kak Vela mendengarkan saksama sambil manggut-manggut.
            “Kau yakin?” tanyanya setelah ceritaku selesai. Aku merasa daguku bergerak turun.
            “Besok temani aku ke salon, ya. Ombre cokelat tipis,”
            Respon yang kudengar adalah hembusan nafas. Aku mengenal hembusan nafas yang ini. Bahasa tubuh dari ‘terserah’.
            “Kau yakin itu bukan sebatas problem kecil remaja labil yang mudah terprovokasi?”
            Anggukanku makin mantap. “Tentu saja bukan. Aku empatbelas setengah tahun, kak. Seperempat dekade lagi negara mengakuiku sebagai salah satu warga dewasa. It’s time to move up. Atau aku akan hidup sebagai stalker rahasia dengan keinginan yang tidak akan tercapai hingga tua.”
            “Dan keinginanmu akan berkarat sebelum kau tua,”
            “Nah, benar. Aku tidak selamanya muda. Aku tidak ingin suatu hari nanti ketika rambutku mulai beruban, nostalgia yang kupunya hanyalah menghabiskan waktu dengan mengagumi diam-diam anak gaul di kota tanpa mulai mengikuti mereka. Riwayat hidupku tidak boleh se-suram ini,”
            “Kalau begitu kenapa tidak pergi ke tempat-tempat main itu dengan teman-temanmu?”
            Ya Tuhan, apa sih yang difikirkan wanita ini. “Ayolah, teman-temanku bukan tipikal hobi berkelana. Mereka kutu buku. Dan mereka tidak bisa menggunakan sepeda motor, bagaimana mau keliling kota? Aku harus jadi anak famous. Kau tahulah. Tolong jangan membuatku menjelaskan banyak hal yang kau sendiri sudah tahu,” sungutku. “Aku akan sangat meragukan statusmu sebagai mahasiswi psikologi kalau kau tidak bisa memberi saran akan hal ini.”
            Gadis seperempat abad di depanku memutar bola mata. “Sudah memikirkan efek sampingnya?”
            Efek samping? Akibat jika aku menjadi anak famous? Akibatnya tentu saja menjadi pusat perhatian orang-orang, banyak informasi yang akan aku tahu karena makin banyak teman makin banyak cerita tentang bermacam hal.
            Jendela kamar melewatkan sinar matahari yang terasa hangat pasca hujan ini. Aku mengalihkan pandanganku ke jendela dan melihat pantulan wajahku disana. Lonjong, sawo matang, pesek, berkantung mata, alis tebal, sepasang biji kopi tertanam di mata. Tidak cantik—aku tahu itu, tapi bukan jelek maksudku. Hanya saja aku tampak sangat......kaku.
            Ketika mataku berlaih lagi, Kak Vela sudah tak ada di posisi tadi. Namun sedetik kemudian ia muncul dari balik pintu membawa segelas air.
            “Minum ini,”
            Air ini terlihat bening dan aku kembali melihat pantulan wajahku disana. Kaku. “Apa ini semacam air dari sumur fakultas psikologi yang bisa membuatku mendapat banyak pencerahan setelah menenggaknya?”
            “Jika menjawab iya membuatmu menutup mulut dan meminum itu, iya.”
            Selanjutnya yang kurasakan adalah dingin menjalari kerongkongan. Bukan dingin. Lebih pantas disebut segar. Sejuk. Ah, bukan itu. Mungkin melegakan. Mungkin keempatnya, mungkin juga bukan semuanya. Yeah, tapi itu maksudku.
            “Apa yang kau rasakan?”
            Ini air. Tentu saja rasanya seperti air. “Jangan membuatku menjawab hal yang kau sudah tahu,”
            Kak Vela manggut-manggut sambil menaikkan alis. “Tarik nafas panjang dan jernihkan otakmu,”
            Aku menurut. Menarik nafas sepanjang yang aku bisa dengan bunyi yang sengaja kukeraskan. “Sudah. Otakku memang sudah jernih.”
            Sepasang bola mata di depanku mengunci mataku dengan tatapan tegas. Aku merasakannya seperti ancaman membunuh jika aku tak mendengar ucapannya.
            “Tanpa mengecek pun kau tahu apa yang sedang Ibu lakukan, kan?”
            “Membuat kue di dapur,”
            “Ayah?”
            “Bekerja di kantor,” sejenak tatapan mengancam itu mengendur sehingga aku berani mengatakan ini dengan nada mengendus kesal. “Aku tidak suka main tebak-tebakan yang mudah,”
            “Lalu untuk menjadi anak famous apa yang kau lakukan tadi? Aktif di media sosial? Update status tiap jam? Hangout? Shopping?” Kak Vela mengatakan ini dengan nada meremehkan. Ada sesuatu tidak beres yang akan dikatakannya.
            “Yap, tapi semua itu membuatku berpengalaman,” ini pembelaan.
            “Kau akan mengganti gaya busanamu lebih kasual bukan? Jadi, beritahu aku darimana kau mendapat uang untuk membeli baju-baju itu,”
            Ah, benar. Dia meremehkanku. “Tenang saja, aku tidak akan se-sering itu berbelanja. Lagipula aku akan membeli baju dan aksesori lain dengan uang yang kusisihkan,”
            “Dari mana uang yang kau sisihkan itu?”
            “Uang saku harian,” jawabku datar. Kak Vela mengernyitkan dahi, meminta jawaban lebih. “Oh, uang saku harianku dari Ayah—“ suaraku tertahan. “Dan Ibu,”
            Uang sakuku dari Ayah dan Ibu. Kalimat itu berdengung menggerogoti benteng tekad di benakku.
            “Lalu jika yang kau lakukan di rumah hanya bermesraan dengan ponsel, media sosial, keluar rumah untuk main, main, main. Beritahu aku kapan kau akan membantu Ibu?”
            Membantu Ibu? Kapan? Jika aku rajin membantu Ibu maka produksi kue Ibu akan meningkat dan aku bisa meminta uang saku lebih untuk ongkos main dan berbelanja. Aku mungkin tidak setiap hari pergi main. Tapi aku tahu sendiri kalau internet membutakan waktu. Apalagi ini aku berniat meningkatkan tingkat keaktifanku di dunia maya. Jadi yang kulakukan nanti hanya dua : berkelana di media sosial seharian atau main seharian.
            Aku mengutuk betapa bodohnya diriku.
            “Dengar,” kata Kak Vela. “Aku tidak melarangmu menjadi anak gaul, famous, atau bahkan menjadi anak pendiam di antara mereka yang paling pendiam. Tapi jangan sekali-kali merobek wajahmu dan menggantinya dengan topeng buatan yang sekuat apapun, itu tetap topeng. Tidak akan serasi dengan dirimu yang asli.”
            Kakakku mahasiswi psikologi penikmat sastra dan aku suka membaca macam-macam karya sastra yang ditulisnya di memo cokelat kekuningan bersampul gambar cangkir kopi. Tentu saja aku membaca tanpa sepengetahuannya a.k.a mengintip. Tapi tolong di saat-saat seperti ini jangan gunakan kalimat kias yang sulit kumengerti.
            Ketika hendak bertanya, Kak Vela memotong. “Kau bilang dua setegah tahun lagi kau membuat KTP dan ini waktunya mulai berpikir dewasa. Jadi, pikirkan ini dalam-dalam, labile girl.” Lalu suara derit pintu mengiris telingaku.
           
Aku paham tentang menghabiskan uang dan waktu tadi. Tapi kalimat topeng-topeng itu apa maksudnya?
            Jika aku menjadi anak gaul. Ayah pergi ke kantor. Ibu membuat kue. Kak Vela memasarkan kue. Aku main handphone. 
            Sebagian benteng tekad di benakku runtuh dan berubah menjadi kepingan pelangi. Aku mulai sedikit paham.
            Menghabiskan waktu di media sosial mungkin bisa membuatku dekat dengan banyak orang dari berbagai wilayah.Tapi itukah yang kau lakukan di rumah? Bangun tidur, buka medsos, nonton tv, mandi, medsos lagi, makan, medsos lagi, mandi, medsos lagi, tidur. Membosankan.
            Ketika kenyataan ada, kenapa justru memilih hal yang semu?
            Dunia nyata di sekitarku menawarkan beragam aktivitas. Katakanlah rak buku yang berdebu itu. Majalah anak-anak yang selalu kubaca waktu kecil, buku kerja Ayah, buku resep Ibu (jarang dibaca karena Ibu lebih suka berinovasi sendiri), buku pelajaran yang sudah tak terpakai, buku-buku kuliah Kak Vela, novel-novel Kak Vela, komikku, semua berjejalan. Kalau aku jadi dia dan bisa berbicara mungkin aku sudah menjerit akan berantakannya diriku “hei aku sudah berdebu! Sudah berbulan-bulan tidak tersentuh lap! Kau juga nyaris tak pernah membaca buku-buku di sini lagi! Kau kira tak pengap, ha?!” lalu buku-buku itu keluar dari rak dan memuntahkan huruf-huruf di dalamnya. Yang menyeramkan, huruf-huruf itu terbungkus api dan tengah berlari-lari mengejarku. Yah, mungkin mereka ingin segera menemukan air untuk memadamkan api. Tapi bukan itu maksudku. Rak novel sekarang bagai lautan huruf terbakar. Jago merah merambat ke tumpukan kardus kue di sebelahnya, lalu ke meja tempat kue-kue siap diantar, ke sofa, ke bufet televisi, tahu-tahu rumahku sudah ludes terbakar.
            Haha, tentu saja itu cuma bayangan konyol yang biasa keluar di televisi. Biasanya di animasi Spongebob Squarepants. Jadi, kenapa Squidward tidak memakai celana? Ups, abaikan.
            Itu cuma contoh kecil saja. Sedangkan di seluruh penjuru rumahku banyak sekali benda-benda kotor yang mengerang tertahan. Dan tidak lupa pula panci adonan, cetakan kue, mentega, oven dan kawan-kawan mereka yang melambai-lambai agar aku cepat membantu Ibu.

            Hei, apa yang baru saja kupikirkan? Apa itu benar-benar otakku? Sebagian diriku ragu apa benar fikiran tadi benar-benar dari lubuk hatiku atau ada alien bijak yang mensabotase otakku. Tapi sebagian lain berkata bahwa dari manapun fikiran itu, itu benar. Benar, benar, benar. Aku ulang tiga kali biar mantap.
            Seperti tersambar petir, aku terhenyak ketika tiba-tiba aku merasa sadar akan sesuatu. Maksud dari topeng. Dan inti dari semua ini.
            Intinya, Spongebob itu banyak adegan bakar-bakaran.
            Oh, bukan itu.
            Maksudku, aktif di media sosial dan hobi berkelana mungkin hanya membuatku terkenal di kalangan itu saja kan. Bagaimana dengan membuat kue? Aku membantu ibu plus mengembangkan kemampuan memasak. Terus berinovasi dan mungkin suatu saat nanti aku bisa ikut kompetisi memasak dengan juri super sadis yang biasa disiarkan di televisi itu. Satu Indonesia bisa tahu. Dan itu hal positif.
            Atau begini, sederhana saja. Aku membantu Ibu. Membahagiakan Ibu. Membuat Ibuku bangga. Surga di telapak kaki Ibu. Jika telapak kaki Ibu yang berkawan dengan bermacam-macam medan kotor saja terdapat surga disana, bagaimana dengan hatinya yang tak terpijak apapun—suci? Aku membahagiakan lebih dari surga.
             Iya. Duniaku mungkin bukan layar 10 kali 5 cm itu. Duniaku di sini. Rumah dengan 2 kamar, 1 ruang tamu, 1 dapur, 1 ruang keluarga (yang lebih mirip sebagai ruang penyimpanan kue), 1 ruang makan (lebih tepat disebut dapur kedua), dan 1 kamar mandi. Ah, lebih dari itu. Desaku? Kecamatanku? Kotaku? Bahkan lebih. Negeri dengan zamrud khatulistiwa melintang dan tujuhbelas ribu pulau mengapung di samudera tiada ujung! Indonesia!
            Lebih lebih lebih dari itu semua. Aku ada di alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Yeah, bukan maksudku juga beranggapan kalau media sosial itu negatif. Positif, tergantung bagaimana memanfaatkannya. Media sosial bisa membantu di banyak hal yang kau tau sendiri lah. Suatu saat nanti juga aku mungkin akan mengunggah foto kue-kue buatanku ke dunia maya agar pemasarannya makin menyebar. Ya, itu. Intinya jangan cuma digunakan untuk hura-hura semata. Pada intinya semua hal memang positif, kan? Tapi jika itu membuatmu lupa waktu dan melalaikan keluarga dan Tuhanmu, itu baru negatif.
           
Famous di medsos mungkin membuatku bahagia. Mungkin juga tidak.
            Friendly atau tidak, ramah atau tidak, murah hati atau tidak—apa semua bisa dinilai hanya dari ketikan huruf, angka, dan emoji di dunia maya?

            Aku tidak perlu terlihat atau memperlihatkan—pamer—baik tidaknya tindak tandukku di lingkup semu itu. Seisi dunia tidak harus tahu seperti apa aku. Tak peduli orang menganggapku apa. Seperti kata Kak Vela, entah menjadi anak gaul, famous, atau pendiam di antara mereka yang paling pendiam, yang penting aku berusaha bersikap seperti aku kepada orang-orang di sekitar. Seperti aku. Aku adalah aku.

-Purwokerto, 23 Juli 2015 11:38


            Yeaayyy akhirnya cerpen ini selesaiiiii. Well, dapet ide buat nulis ini setelah denger lagu cool kids dan ngeresapin liriknya. It just a short story, guys. Bukan kisah nyata, bukan realita, bukan apa-apa deh murni cuma fiksi.
            Maapkeun yaa kalo misal ngerasa abstrak banget ceritanya, maklum masih amatir heuheu. Agak susah soalnya menguatkan karakter anak biasa yang ngga pendiam-pendiam banget di cerita pendek. Pendek. Pendek. Pendek. Pendek. Diulang empat kali biar mantap. Jadi, kalo ada kritik dan saran silakan beri komentar anda. Kalo kepengin lebih personal bisa ke rescahyani@gmail.com yeu. #Inibukanpromosi
            Masih ada cerpen lain yang niatnya aku post kapan-kapan, sama-sama ide dasarnya gara-gara dengerin lagu juga.

            Yeah, happy reading guys!

Cool Kids (part 1)


.



COOL KIDS      (part1)


*Disarankan baca ini sambil dengerin lagu cool kids*

COOL KIDS   (part 1)

She sees them walking in a straight line
That’s not really her style
And they all got the same heartbeat
But hers is falling behind
Nothing in this world could
Ever bring them down
Yeah, they’re invincible
And she just in the background

-Cool Kids by Echosmith ♪♪♪


            Arloji yang mengikat pergelangan tanganku menunjukkan pukul 11 am. Jam sebelas. Harusnya disebut jam sebelas siang. Tapi melihat cuaca di sekeliling, kurasa orang-orang masih mengira ini jam tujuh pagi.
            Aku menaikan kerah sweater hingga menutup hidung. Langit berwajah muram. Hujan deras sejak jam sepuluh tadi malam baru reda lima belas menit yang lalu. Masih berderai gerimis-gerimis dengan intensitas sangat rendah. Gerimis kecil.
            Udara kuhirup lewat hidung yang terhalang sebagian sweater coklat tua. Dingin. Hidungku serasa tertusuk-tusuk stalaktit gua kristal. Sejenak aku ingat panci di dapur rumahku. Ketika pamit tadi, Ibuku sedang memanaskan cokelat batangan agar meleleh. Ah, pasti sekarang cokelat itu telah meleleh sempurna dan merebakkan aroma panas nikmat. Seandainya udara bisa dibungkus, tadi pagi aku akan menunggu uap cokelat itu dan membungkusnya untuk kuhirup sekarang.
            Yeah, liburan membuatku sering menonton Doraemon. Hebat. Daya imajinasiku meningkat.
            “DIIIINNN DINNNN!”
            Astaga, aku baru ingat kalau aku sedang berada di lampu merah. Segera kulajukan skuterku diagonal kiri. Kendaraan-kendaraan lain yang tadi membunyikan klakson melewatiku sambil mengumpat dalam 3 bahasa. Sial.
            Perjalananku selanjutnya tak berjalan mulus. Tak cukup udara dingin, keringat dingin ikut membanjiri tubuh—seolah-olah tak ingin kehilangan kesempatan untuk menambah kesialanku. Untungnya, tempat yang kutuju hanya berjarak 400 meter dari lampu merah tadi. Setidaknya aku bisa sedikit mengambil jeda—aku tidak yakin aku akan tetap fokus berkendara setelah diserapahi oleh banyak pengendara tadi. Meskipun tadi itu memang salahku. Nasib baik, tidak ada polisi jaga. Mati aku kalau kena tilang karena alasan konyol : (masih) melamun membayangkan aroma cokelat cair hangat di jalan raya saat lampu lalu lintas menyala hijau. Ya, itu semacam definisi dari “lalai berkendara”. Jika tadi aku kena tilang.
            Terbawa suasana tadi, aku memarkir skuter dengan sangat hati-hati. Kutengok kanan-kiri, memastikan jeda antara skuterku dengan motor di kanan-kiri cukup.
            Bangunan di depanku berdinding kaca tembus pandang. Setiap orang bisa melihat aktivitas orang-orang di dalamnya. Terpampang jelas papan nama : GRIYA JAHIT “PODO SENENG”. Papan kecil di pintu menunjukan deretan huruf warna merah ; O P E N. Syukurlah. Aku pikir semua toko tutup karena hujan deras.
            Aku mendorong pelan pintu griya jahit sambil bersiap-siap cemas menunggu suara derit pintu. Aku paling tidak tahan dengan suara gesekan. Sekarang posisiku sudah ada di dalam ruangan. Tidak ada derit yang terdengar. Ah iya, itu kan pintu kaca transparan.
            Keliling penuh dengan Ibu-ibu yang berkutat dengan mesih jahitnya. Ada pula beberapa yang paruh baya, memilih aktivitas tradisional : merajut dengan tangan. Tubuhku menghangat membayangkan salah satu sweater yang tengah dirajut seorang nenek limapuluh tahunan di pojok ruangan. Sweater jingga polos berleher tinggi dari wol tebal. Jingga, warna senja. Remang, anggun, dan hangat.
            “Ada yang perlu kami bantu?” suara seorang wanita mengagetkanku. Bu Sasri, pemilik griya jahit ini.
            Aku menyerahkan kantong plastik yang bentuknya menyerupai kotak. “Ah, ini kue pesanan—“
            “Oh, kau anak Bu Lasmi ya? Ah, kukira batal diantar karena—yah, kau lihat sendiri seberapa ganas hujan dari tadi.”
            Aku menyerahkan satu kantong plastik lagi. Bu Sasri mengangkat alis kanannya. “Ibu bilang tadi sudah mengirim sms tentang bungkusan yang ini,” jelasku.
            Tangan bu Sasri cekatan merogoh saku roknya. Jemarinya menari-nari  di atas tombol-tombol ponsel. Ada instrumen lucu tercipta dari ponsel layar kuning itu.
            “Ah ya, saku gamis Ibumu bolong dan—“ Bu Sasri meletakkan kue, beralih mengacak kantong plastik yang satu lagi, “Nah, rok yang ini juga. Emm, aku bisa segera menyelesaikannya. Tolong tunggu sebentar, ya.”
            Anggukan. Bu Sasri kembali ke meja jahitnya. Ada beberapa sofa untuk pengunjung yang kosong di sini. Tapi kakiku menyeret keluar ruangan. Ada bangku panjang di depan griya jahit. Sepertinya bangku itu punya gravitasi yang besar karena ia berhasil menyedot pantatku agar rehat di sana.
            Udara di luar sepertinya mulai mengenal kata kompromi. Leher yang terbungkus kerah sweater mulai terasa panas. Aku menggulungnya, membiarkan leherku menikmati semerbak pasca hujan. Tanganku menyelusup ke saku celana, meraih ponsel pintar layar sepuluh kali lima senti.
            Yang pertama terbesit di pikiranku adalah : media sosial. Aku punya beberapa akun media sosial—ah, lebih tepat disebut akun mati karena jarang sekali aku membuat status. Jadi, apa yang kulakukan dengan medsos-medsos ini? Of course, I’am a stalker.
            Ada banyak tipe orang pendiam di dunia. Aku malas menyebut semuanya. Tapi aku termasuk tipe pendiam intelijen. Tunggu, sebelum aku menjelaskan pendiam intelijen, perlu kutekankan kalau aku tidak murni pendiam. Aku remaja biasa. Biasa saja. Terlalu biasa hingga sedalam apapaun kau menggali, hasilnya nihil. Nihil, tidak ada hal apapun yang menonjol dalam diriku. Kelas akan tetap biasa saja saat aku tidak berangkat sehari, dua hari, atau bahkan sebulan sekalipun. Tak dianggap? Mungkin terlalu telak tapi—yah, kurang lebih itu. Paham?
 Aku suka mengamati orang-orang, stalking akun medsos mereka. Spesifiknya lagi, aku stalker khusus anak-anak gaul—famous. Aku tahu apa yang mereka lakukan kemarin, aku tahu tempat apa yang baru mereka kunjungi, aku tahu apa hobi mereka, aku tahu benda apa yang sedang mereka inginkan, aku tahu siapa idola mereka. Media sosial memberi tahu semuanya. Terlalu konyol ya—mengetahui gosip remeh temeh tentang anak gaul di kota. Apalagi untuk anak pendiam sepertiku, tidak ada yang menyangka. Yeah, aku pendiam. Aku bergerak dalam diam.
            Beranda media sosial yang kubuka menampilkan status orang-orang yang kuikuti. Hei, ini si Sheila! Anak kelas sebelah yang hits dan style-nya sebelas dua belas dengan bintang ftv. Dia mengunggah foto di pantai. Loh, sebelahnya siapa? Anak lelaki berambut pirang. Hmm, pacar barunya? Hebat benar Sheila, baru putus seminggu sudah digaet lagi. Bule pula.
            Bawahnya lagi, emm, ini Veronica. Vero, anak SMP sebelah. Ups, dia dibully oleh anonymous. Dari kata-katanya, anonymous ini macam  sangat membenci Vero. Tapi bukan Vero namanya kalau tidak pintar bersilat lidah—emm, lebih tepat disebut bersilat jari karena mengetik menggunakan jari. Dibalasnya bully-an tadi dengan serentet pembelaan super sarkas.
            Bawahnya lagi, nah ini anak yang paling sering aku stalk. Sejauh yang aku tau dari medsos, dia cantik, baik, ramah berketik kata, update di media sosial, apalagi dia—
            “Vita!”
            Itu namaku.
            “Vita!”
            Itu namaku. Seseorang memanggilku. Dua kali.
            Di tempat seperti ini siapa yang akan bertemu denganku? Rasa penasaran memaksa sendi putar menengok. Di toko sebelah. Seorang gadis berambut panjang mengenakan coat merah marun selutut, legging hitam memperlihatkan kurus lekuk kaki, dan syal rajut motif aztec membelit leher sedang berjongkok di depan toko kaset. Nampaknya memperhatikan poster yang terpajang.
            Radius 10 meter di belakang gadis coat merah, dua gadis berjalan tergopoh-gopoh menghampiri. Yang satu mengenakan kemeja kotak-kotak yang mencuat dibalik sweater tribal ungu. Plus jeans merah dan boots coklat muda. Satunya lagi mengenakan coat kuning yang dibiarkan tak terkancing, memperlihatkan kaos putih bertuliskan I’AM HIS membungkus tubuhnya. Berpadu dengan jogger pants abu-abu dan boots abu-abu pula.
            Aku terkesiap. Tarik nafas dalam-dalam. Ya Tuhan. Mereka—tiga gadis itu. Mereka orang yang sedang aku stalk!
            Jika biasanya aku melihat mereka lewat foto di layar ponsel, sekarang aku benar-benar melihat mereka dengan mata telanjang. Gadis ber-coat kuning adalah Sheila, sweater tribal ungu adalah Vero, dan gadis coat merah marun yang setengah berjongkok di depan poster adalah Vita! Gadis famous super ramah yang namanya sama denganku.
            Tiga gadis itu mengobrol entah apa di depan poster. Mata mereka tampak antusias. Lihat betapa gadis cantik yang bercengkrama di pinggir jalan benar-benar memperindah pemandangan kota. Lihat rambut Sheila yang diombre hijau tosca, berayun-ayun diterpa angin. Pipi mungil Vero yang bersinar dalam suasana suram ini. Lalu, ah—Vita. Tanpa apapun dia terlihat mempesona. Sungguh demi apa jika aku lelaki, mungkin aku akan terkena hipertensi atau semacamnya karena darahku akan berdesir cepat tiap menatap Vita.
            Mataku akhirnya berkedip ketika mereka berhenti mengobrol dan berjalan lagi. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Jantungku berdetak berkebalikan dengan langkah mereka yang terasa seperti slow motion. Badan langsing dan tegap, kaki kurus berayun lincah, derap dengan irama mantap, ayunan tangan gemulai—hei seseorang tolong katakan padaku kalau mereka menari, bukan berjalan. Ya Tuhan, mereka hanya BERJALAN. BERJALAN. Semua orang bisa melakukannya! Mereka hanya berjalan dan KENAPA ITU TERLIHAT MENGAGUMKAN?
            Nafasku tertahan dan seisi dunia serasa sangat melambat di detik-detik mereka lewat di depanku. Aku berusaha memasukkan ponselku ke saku agar apa yang ada di layar tidak terlihat oleh mereka—aku akan sangat malu karenanya. Yeah, sekalipun kemungkinannya sangat kecil untuk anak famous sengaja mengintip kesana kemari. Ketika semua memperhatikanmu, untuk apa kau juga curi pandang ke arah mereka?
            Tap, tap, tap. Detak jantungku masih kencang tak beraturan dan tertinggal di belakang kaki mereka yang berpijak senada melewati bangku tempatku duduk. Tarik nafas dalam-dalam—pfffffffhhhht.
Aku meyakinkan diriku kalau aku masih hidup setelah beberapa detik yang menyesakkan ini. Mereka masih terus berjalan. Dua anak lelaki di parkiran kafe melambai. Sudah jelas pada Sheila, Vero, dan Vita. Lelaki yang satu berambut cepak mengenakan jaket kulit tebal, satunya lagi rambut pirang mengenakan jaket kulit pula dengan resleting terbuka. Melihatkan kaus putih bertuliskan I’AM HER di balik jaket. Ah, ini pasti si pirang pacar baru Sheila.
“Hei kau,”
Aku menengok. “Ah, iya?”
Bu Sasri memberikan kantung plastik padaku. “Sudah selesai. Bayarannya sudah Ibumu sertakan di dalam sini dan sudah kusertakan pula kembaliannya. Nah sudah ya, masih banyak perkerjaan lain. Kau juga pasti mau pulang, kan? Nah, selamat siang.”
Tanpa mengecek, aku mengangguk.
Aku berbalik dan termenung sejenak di jok skuter. Pandanganku jatuh pada pakaian yang membalut tubuh. Bandingkan dengan tiga gadis famous itu. Aku membayangkan ketika sweater coklat tua polosku berjejeran dengan sweater tribal ungu Vero atau coat Sheila dan Vita. Seperti kucing pasar dan kucing anggora. Apalagi urusan pembungkus kaki. Aku hanya mengenakan celana katun hitam polos dengan dua saku samping, dan mereka—stop, siapapun tolong putar lagu ‘lambaikan tangan ke kamera’ dari Aaron Ashab sekarang juga. Ya Tuhan, ini benar-benar tidak lucu.
Maka ungkapan yang tepat adalah : kuno, statis, kaku versus kasual, stylish, fashionable.
Bagaimana dengan ungkapan beauty and the beast? Oh, tidak. Itu terlalu telak. Setidaknya arloji yang melilit tanganku sedikit membuatku kurang cocok disebut ‘the beast’.
Ketika melirik ke kanan, aku mendapati Sheila, Vero, Vita, dan dua anak lelaki tadi masih di depan kafe. Mengobrol dan tertawa entah apa. Berselfie ria. Ah, pulang ini nanti pasti mereka akan mengunggahnya ke dunia maya. Lantas mereka berjalan menuju pintu kafe, masih diiringi gelak tawa.

Aku meringis membayangkan derit pintu kafe.
Dan meringis miris akan betapa tertinggalnya aku.
       

            Tunggu part 2 besok yaaa! Happy reading guys!