COOL
KIDS (part2)
COOL KIDS (part 2)
And she says
I wish that I could be like the cool
kids
Cause all the cool kids they seems to
fit in
I wish that I could be like the cool
kids
Like the cool kids
-Cool Kids by Echosmith ♪♪♪
Aku harap aku bisa menjadi anak gaul. Bukan. Aku harus menjadi anak gaul.
Aku harap aku bisa menjadi anak famous. Bukan. Aku harus menjadi anak famous.
Dua frasa tadi terus menerus
membayangi pikiranku seperti hantu berjiwa bayi ; merengek hingga apapun yang
diminta terwujud. Kata ‘harap’ dan ‘harus’ paling memusingkan. Aku tidak tahu
mana yang sebenarnya pantas. ‘Harap’ berarti hanya sebatas impian yang terkabul
suatu saat nanti dan kata ‘harap’ di
fikiranku memiliki bagian lain yang berdalih bahwa bukan masalah besar jika
mimpi itu tidak tercapai. Sedangkan ‘harus’ memiliki semacam dorongan dan
paksaan agar dilakukan sesegera mungkin
dengan kerja keras, penyesalan besar jika tidak membuahkan hasil memuaskan.
Tapi ‘harap’ juga memerlukan kerja
keras agar mimpi itu tercapai, kan? Perbedaannya hanya pada waktu dan tingkat
penyesalan jika tidak terwujud.
Jadi?
Arrrggghhh, semua ini membuat
kepalaku pening. Sepanjang perjalanan pulang tadi, berkali-kali pengguna jalan
lain memenuhi telingaku dengan klakson-klakson volume maksimal. Aku tidak ingat
apa yang kulakukan di jalan raya karena—yah, konsentrasiku terkuras oleh
anak-anak famous. Syukurnya, aku bisa sampai rumah dengan selamat.
Aku pikir aku akan merasa bangga
jika menjadi anak famous. Punya banyak teman dari berbagai sekolah yang tak
kalah hits. Hangout ke berbagai tempat. Jogging bersama tiap Minggu, jelajah
wisata alam di seluruh penjuru kota, shopping, wisata kuliner, pergi ke konser,
dan yang paling penting di tiap kegiatan itu adalah : selfie. Abadikan segala
momen dan unggah di dunia maya. Tunjukkan pada dunia bahwa ini aku, ini
teman-temanku, kami gila-gilaan bersama, kami suka berkelana, kami aktif di
dunia maya.
Selama ini aku memendam iri tiap
melihat foto-foto anak famous. Ingin mengunjungi tempat yang mereka kunjungi
plus bersama orang-orang yang fun pula. Nah, jika seseorang iri kepadamu,
artinya kau punya sesuatu istimewa yang tidak semua orang punya, kan?
Bukankah menjadi perhatian banyak orang itu menyenangkan?
Aku menarik nafas dalam-dalam sambil mengeja
niatan-niatan yang mekar di otak. Seperti air yang berakhir di kulkas, tekadku
kian mengeras. Aku harus menjadi anak
gaul, aku harus menjadi anak famous.
Jadi, apa yang harus kulakukan
sekarang? Berdasarkan pengamatanku sejauh ini, ada beberapa tahap untuk menjadi
famous. Pertama, aktif di media sosial. Ikuti akun anak-anak famous, meminta
mereka untuk balik mengikuti atau bahasa kerennya : followback. Sering-sering
update status, memberi komentar pada status orang lain, membagikan status orang
lain jika merasa status itu bagus. Bersikap ramah, mengetik dengan bahasa gaul,
menggunakan bermacam-macam emoji, jangan takut untuk berkenalan dengan orang
lain. Jangan lupa unggah bermacam-macam selfie. Targetnya adalah namaku selalu
muncul di beranda akun media sosial orang lain (target utamaku anak-anak gaul
di kota tentunya). Garis bawah untuk selalu, it’s mean everytime.
Tahap kedua. Setelah namaku mulai
sering muncul di media sosial, maka akan banyak yang penasaran denganku.
Berkenalan, berteman, curhat-curhatan. Proses menjadi teman dekat.
Tahap ketiga. Berdasarkan
pengamatanku, setelah tahap curhat-curhatan itu biasanya anak-anak famous mulai
hangout bersama. Makin sering hangout, makin banyak foto yang diunggah, makin
terlihat gaul-lah mereka. Nah di tahap ini mulailah seseorang dianggap famous.
Jangan lupa juga mengupgrade style fashion karena akan terlihat tidak serasi
memakai pakaian kaku di tengah anak-anak gaul yang fashionable.
Itu teori pribadi. Oke, aku menghela
nafas lagi. Let’s start it.
“Vita!”
Aku mendongakkan kepala. Kak Vela
berdiri berkacak pinggang di depanku. “Tahu apa yang akan Kakak tanyakan?”
Aku memutar bola mata. “Tanya apa
yang sedang aku lakukan? Oke, sekarang aku sedang bernafas sambil duduk di
sofa,”
Kak Vela geleng-geleng kepala.
“Kak, aku mau jadi anak famous.”
kata-kata itu meluncur begitu saja. Suaraku datar dan tegas, semacam pencegahan
sebelum Kak Vela mulai mensenandungkan beragam makian.
Kak Vela menaikkan sebelah alis. “Kerasukan?
Kenapa?”
Secuil diriku merasa firasat baik
untuk menceritakan tekadku padanya. Siapa tahu dia punya saran bagus. Lantas
kubeberkan padanya segala hal di benak. Termasuk tahap-tahap yang akan
kulakukan. Kak Vela mendengarkan saksama sambil manggut-manggut.
“Kau yakin?” tanyanya setelah
ceritaku selesai. Aku merasa daguku bergerak turun.
“Besok temani aku ke salon, ya.
Ombre cokelat tipis,”
Respon yang kudengar adalah hembusan
nafas. Aku mengenal hembusan nafas yang ini. Bahasa tubuh dari ‘terserah’.
“Kau yakin itu bukan sebatas problem
kecil remaja labil yang mudah terprovokasi?”
Anggukanku makin mantap. “Tentu saja
bukan. Aku empatbelas setengah tahun, kak. Seperempat dekade lagi negara
mengakuiku sebagai salah satu warga dewasa. It’s
time to move up. Atau aku akan hidup sebagai stalker rahasia dengan
keinginan yang tidak akan tercapai hingga tua.”
“Dan keinginanmu akan berkarat
sebelum kau tua,”
“Nah, benar. Aku tidak selamanya
muda. Aku tidak ingin suatu hari nanti ketika rambutku mulai beruban, nostalgia
yang kupunya hanyalah menghabiskan waktu dengan mengagumi diam-diam anak gaul
di kota tanpa mulai mengikuti mereka. Riwayat hidupku tidak boleh se-suram
ini,”
“Kalau begitu kenapa tidak pergi ke
tempat-tempat main itu dengan teman-temanmu?”
Ya Tuhan, apa sih yang difikirkan
wanita ini. “Ayolah, teman-temanku bukan tipikal hobi berkelana. Mereka kutu
buku. Dan mereka tidak bisa menggunakan sepeda motor, bagaimana mau keliling
kota? Aku harus jadi anak famous. Kau tahulah. Tolong jangan membuatku
menjelaskan banyak hal yang kau sendiri sudah tahu,” sungutku. “Aku akan sangat
meragukan statusmu sebagai mahasiswi psikologi kalau kau tidak bisa memberi
saran akan hal ini.”
Gadis seperempat abad di depanku
memutar bola mata. “Sudah memikirkan efek sampingnya?”
Efek samping? Akibat jika aku
menjadi anak famous? Akibatnya tentu saja menjadi pusat perhatian orang-orang,
banyak informasi yang akan aku tahu karena makin banyak teman makin banyak
cerita tentang bermacam hal.
Jendela kamar melewatkan sinar
matahari yang terasa hangat pasca hujan ini. Aku mengalihkan pandanganku ke
jendela dan melihat pantulan wajahku disana. Lonjong, sawo matang, pesek,
berkantung mata, alis tebal, sepasang biji kopi tertanam di mata. Tidak
cantik—aku tahu itu, tapi bukan jelek maksudku. Hanya saja aku tampak
sangat......kaku.
Ketika mataku berlaih lagi, Kak Vela
sudah tak ada di posisi tadi. Namun sedetik kemudian ia muncul dari balik pintu
membawa segelas air.
“Minum ini,”
Air ini terlihat bening dan aku kembali
melihat pantulan wajahku disana. Kaku. “Apa ini semacam air dari sumur fakultas
psikologi yang bisa membuatku mendapat banyak pencerahan setelah menenggaknya?”
“Jika menjawab iya membuatmu menutup
mulut dan meminum itu, iya.”
Selanjutnya yang kurasakan adalah
dingin menjalari kerongkongan. Bukan dingin. Lebih pantas disebut segar. Sejuk.
Ah, bukan itu. Mungkin melegakan. Mungkin keempatnya, mungkin juga bukan
semuanya. Yeah, tapi itu maksudku.
“Apa yang kau rasakan?”
Ini air. Tentu saja rasanya seperti
air. “Jangan membuatku menjawab hal yang kau sudah tahu,”
Kak Vela manggut-manggut sambil
menaikkan alis. “Tarik nafas panjang dan jernihkan otakmu,”
Aku menurut. Menarik nafas
sepanjang yang aku bisa dengan bunyi yang sengaja kukeraskan. “Sudah. Otakku
memang sudah jernih.”
Sepasang bola mata di depanku
mengunci mataku dengan tatapan tegas. Aku merasakannya seperti ancaman membunuh
jika aku tak mendengar ucapannya.
“Tanpa mengecek pun kau tahu apa
yang sedang Ibu lakukan, kan?”
“Membuat kue di dapur,”
“Ayah?”
“Bekerja di kantor,” sejenak tatapan
mengancam itu mengendur sehingga aku berani mengatakan ini dengan nada
mengendus kesal. “Aku tidak suka main tebak-tebakan yang mudah,”
“Lalu untuk menjadi anak famous apa
yang kau lakukan tadi? Aktif di media sosial? Update status tiap jam? Hangout?
Shopping?” Kak Vela mengatakan ini dengan nada meremehkan. Ada sesuatu tidak
beres yang akan dikatakannya.
“Yap, tapi semua itu membuatku
berpengalaman,” ini pembelaan.
“Kau akan mengganti gaya busanamu
lebih kasual bukan? Jadi, beritahu aku darimana kau mendapat uang untuk membeli
baju-baju itu,”
Ah, benar. Dia meremehkanku. “Tenang
saja, aku tidak akan se-sering itu
berbelanja. Lagipula aku akan membeli baju dan aksesori lain dengan uang yang
kusisihkan,”
“Dari mana uang yang kau sisihkan
itu?”
“Uang saku harian,” jawabku datar.
Kak Vela mengernyitkan dahi, meminta jawaban lebih. “Oh, uang saku harianku
dari Ayah—“ suaraku tertahan. “Dan Ibu,”
Uang
sakuku dari Ayah dan Ibu. Kalimat itu berdengung menggerogoti benteng tekad
di benakku.
“Lalu jika yang kau lakukan di rumah
hanya bermesraan dengan ponsel, media sosial, keluar rumah untuk main, main,
main. Beritahu aku kapan kau akan membantu Ibu?”
Membantu Ibu? Kapan? Jika aku rajin
membantu Ibu maka produksi kue Ibu akan meningkat dan aku bisa meminta uang
saku lebih untuk ongkos main dan berbelanja. Aku mungkin tidak setiap hari
pergi main. Tapi aku tahu sendiri kalau internet membutakan waktu. Apalagi ini
aku berniat meningkatkan tingkat keaktifanku di dunia maya. Jadi yang kulakukan
nanti hanya dua : berkelana di media sosial seharian atau main seharian.
Aku mengutuk betapa bodohnya diriku.
“Dengar,” kata Kak Vela. “Aku tidak
melarangmu menjadi anak gaul, famous, atau bahkan menjadi anak pendiam di
antara mereka yang paling pendiam. Tapi jangan sekali-kali merobek wajahmu dan
menggantinya dengan topeng buatan yang sekuat apapun, itu tetap topeng. Tidak
akan serasi dengan dirimu yang asli.”
Kakakku mahasiswi psikologi penikmat
sastra dan aku suka membaca macam-macam karya sastra yang ditulisnya di memo
cokelat kekuningan bersampul gambar cangkir kopi. Tentu saja aku membaca tanpa
sepengetahuannya a.k.a mengintip. Tapi tolong di saat-saat seperti ini jangan
gunakan kalimat kias yang sulit kumengerti.
Ketika hendak bertanya, Kak Vela
memotong. “Kau bilang dua setegah tahun lagi kau membuat KTP dan ini waktunya
mulai berpikir dewasa. Jadi, pikirkan ini dalam-dalam, labile girl.” Lalu suara derit pintu mengiris telingaku.
Aku paham tentang menghabiskan uang dan waktu tadi. Tapi
kalimat topeng-topeng itu apa maksudnya?
Jika aku menjadi anak gaul. Ayah
pergi ke kantor. Ibu membuat kue. Kak Vela memasarkan kue. Aku main
handphone.
Sebagian benteng tekad di benakku
runtuh dan berubah menjadi kepingan pelangi. Aku mulai sedikit paham.
Menghabiskan waktu di media sosial mungkin bisa membuatku dekat dengan
banyak orang dari berbagai wilayah.Tapi itukah yang kau lakukan di rumah?
Bangun tidur, buka medsos, nonton tv, mandi, medsos lagi, makan, medsos lagi,
mandi, medsos lagi, tidur. Membosankan.
Ketika
kenyataan ada, kenapa justru memilih hal yang semu?
Dunia
nyata di sekitarku menawarkan beragam aktivitas. Katakanlah rak buku yang
berdebu itu. Majalah anak-anak yang selalu kubaca waktu kecil, buku kerja Ayah,
buku resep Ibu (jarang dibaca karena Ibu lebih suka berinovasi sendiri), buku
pelajaran yang sudah tak terpakai, buku-buku kuliah Kak Vela, novel-novel Kak
Vela, komikku, semua berjejalan. Kalau aku jadi dia dan bisa berbicara mungkin
aku sudah menjerit akan berantakannya diriku “hei aku sudah berdebu! Sudah berbulan-bulan tidak tersentuh lap! Kau
juga nyaris tak pernah membaca buku-buku di sini lagi! Kau kira tak pengap,
ha?!” lalu buku-buku itu keluar dari rak dan memuntahkan huruf-huruf di
dalamnya. Yang menyeramkan, huruf-huruf itu terbungkus api dan tengah
berlari-lari mengejarku. Yah, mungkin mereka ingin segera menemukan air untuk
memadamkan api. Tapi bukan itu maksudku. Rak novel sekarang bagai lautan huruf
terbakar. Jago merah merambat ke tumpukan kardus kue di sebelahnya, lalu ke
meja tempat kue-kue siap diantar, ke sofa, ke bufet televisi, tahu-tahu rumahku
sudah ludes terbakar.
Haha, tentu saja itu cuma bayangan konyol yang biasa keluar di televisi.
Biasanya di animasi Spongebob Squarepants. Jadi, kenapa Squidward tidak memakai
celana? Ups, abaikan.
Itu cuma
contoh kecil saja. Sedangkan di seluruh penjuru rumahku banyak sekali
benda-benda kotor yang mengerang tertahan. Dan tidak lupa pula panci adonan,
cetakan kue, mentega, oven dan kawan-kawan mereka yang melambai-lambai agar aku
cepat membantu Ibu.
Hei, apa
yang baru saja kupikirkan? Apa itu benar-benar otakku? Sebagian diriku ragu apa
benar fikiran tadi benar-benar dari lubuk hatiku atau ada alien bijak yang
mensabotase otakku. Tapi sebagian lain berkata bahwa dari manapun fikiran itu,
itu benar. Benar, benar, benar. Aku ulang tiga kali biar mantap.
Seperti
tersambar petir, aku terhenyak ketika tiba-tiba aku merasa sadar akan sesuatu.
Maksud dari topeng. Dan inti dari semua ini.
Intinya,
Spongebob itu banyak adegan bakar-bakaran.
Oh,
bukan itu.
Maksudku,
aktif di media sosial dan hobi berkelana mungkin hanya membuatku terkenal di
kalangan itu saja kan. Bagaimana dengan membuat kue? Aku membantu ibu plus mengembangkan
kemampuan memasak. Terus berinovasi dan mungkin suatu saat nanti aku bisa ikut
kompetisi memasak dengan juri super sadis yang biasa disiarkan di televisi itu.
Satu Indonesia bisa tahu. Dan itu hal positif.
Atau
begini, sederhana saja. Aku membantu Ibu. Membahagiakan Ibu. Membuat Ibuku
bangga. Surga di telapak kaki Ibu. Jika telapak kaki Ibu yang berkawan dengan
bermacam-macam medan kotor saja terdapat surga disana, bagaimana dengan hatinya
yang tak terpijak apapun—suci? Aku membahagiakan lebih dari surga.
Iya. Duniaku mungkin bukan layar 10 kali 5 cm
itu. Duniaku di sini. Rumah dengan 2 kamar, 1 ruang tamu, 1 dapur, 1 ruang
keluarga (yang lebih mirip sebagai ruang penyimpanan kue), 1 ruang makan (lebih
tepat disebut dapur kedua), dan 1 kamar mandi. Ah, lebih dari itu. Desaku?
Kecamatanku? Kotaku? Bahkan lebih. Negeri dengan zamrud khatulistiwa melintang
dan tujuhbelas ribu pulau mengapung di samudera tiada ujung! Indonesia!
Lebih
lebih lebih dari itu semua. Aku ada di alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa.
Yeah, bukan
maksudku juga beranggapan kalau media sosial itu negatif. Positif, tergantung
bagaimana memanfaatkannya. Media sosial bisa membantu di banyak hal yang kau
tau sendiri lah. Suatu saat nanti juga aku mungkin akan mengunggah foto kue-kue
buatanku ke dunia maya agar pemasarannya makin menyebar. Ya, itu. Intinya
jangan cuma digunakan untuk hura-hura semata. Pada intinya semua hal memang
positif, kan? Tapi jika itu membuatmu lupa waktu dan melalaikan keluarga dan
Tuhanmu, itu baru negatif.
Famous di medsos
mungkin membuatku bahagia. Mungkin juga tidak.
Friendly
atau tidak, ramah atau tidak, murah hati atau tidak—apa semua bisa dinilai
hanya dari ketikan huruf, angka, dan emoji di dunia maya?
Aku
tidak perlu terlihat atau memperlihatkan—pamer—baik tidaknya tindak tandukku di
lingkup semu itu. Seisi dunia tidak harus tahu seperti apa aku. Tak peduli
orang menganggapku apa. Seperti kata Kak Vela, entah menjadi anak gaul, famous,
atau pendiam di antara mereka yang paling pendiam, yang penting aku berusaha
bersikap seperti aku kepada
orang-orang di sekitar. Seperti aku.
Aku adalah aku.
-Purwokerto, 23 Juli 2015 11:38
Yeaayyy akhirnya cerpen ini selesaiiiii. Well, dapet ide
buat nulis ini setelah denger lagu cool kids dan ngeresapin liriknya. It just a short story, guys. Bukan kisah
nyata, bukan realita, bukan apa-apa deh murni cuma fiksi.
Maapkeun
yaa kalo misal ngerasa abstrak banget ceritanya, maklum masih amatir heuheu.
Agak susah soalnya menguatkan karakter anak biasa yang ngga pendiam-pendiam
banget di cerita pendek. Pendek. Pendek. Pendek. Pendek. Diulang empat kali
biar mantap. Jadi, kalo ada kritik dan saran silakan beri komentar anda. Kalo
kepengin lebih personal bisa ke rescahyani@gmail.com yeu. #Inibukanpromosi
Masih
ada cerpen lain yang niatnya aku post kapan-kapan, sama-sama ide dasarnya
gara-gara dengerin lagu juga.
Yeah,
happy reading guys!